Selasa, Desember 29, 2009

Investasi dan Public Health

Oleh : YUNIARTI, S.H.., M.H.

Investasi atau penanaman modal pada dasarnya merupakan kebutuhan mutlak suatu negara agar dapat meningkatkan produktifitas nasional, sehingga mampu meningkatkan pendapatan nasional dan pada akhirnya dapat mendorong peningkatan kualitas kesejahteraan rakyatnya. Hal ini terutama terjadi pada negara-negara berkembang yang mengandalkan sumber investasi yang berasal dari bantuan luar negeri atau investasi asing. Negara-negara tersebut sadar bahwa untuk membangun negaranya berasal dari sektor pembangunan publik dan sektor swasta yang kebanyakan berasal dari luar negeri. Penanaman modal dalam suatu negara hadir dengan dua cara, yaitu melalui penanaman modal secara langsung atau investasi secara langsung (Foreign Direct Investment selanjutnya disebut dengan FDI) dan penanaman modal secara tidak langsung atau investasi tak langsung (Indirect Foreign Investment). Investasi tak langsung pada umumnya merupakan penanaman modal jangka pendek yang mencakup kegiatan transaksi di pasar modal dan di pasar uang.
Penanaman modal asing secara langsung memerankan fungsi yang sangat penting dalam perekonomian dunia, juga diakui sebagai kunci penentu dalam perdagangan global yang menjadi bagian integral dengan standar hidup yang lebih tinggi dengan kemakmuran ekonomi. Walaupun demikian kehadiran investor asing dalam suatu negara yang berdaulat memang sering diikuti dengan berbagai pendapat dengan argumentasi masing-masing. Pendapat tersebut antara lain mengemukakan kehadiran investor asing dapat mengancam industri dalam negeri sendiri dan mungkin mengancam kedaulatan negara.
Namun, pada sisi lain ada pendapat yang menyatakan bahwa FDI membawa kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi di host country. Keuntungan penanaman modal bagi host country secara teoritis kiranya dapat dikemukakan, bahwa kehadiran investor asing di suatu negara memiliki manfaat yang cukup luas. Manfaat yang dimaksud adalah kehadiran investor asing dapat menyerap tenaga kerja di negara penerima modal; dapat menciptakan demand bagi produk dalam negeri sebagai bahan baku; menambah devisa terutama bagi investor asing yang berorientasi ekspor, dapat menambah penghasilan negara dari sektor pajak, adanya alih teknologi maupun alih pengetahuan.
Upaya-upaya dalam rangka melindungi kepentingan nasional dan memaksimalkan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam memanfaatkan masuknya modal asing menyebabkan banyak negara penerima modal menerapkan rejim hukum yang bersifat “mengatur” sebagai upaya untuk memanfaatkan dan meningkatkan keuntungan dari penanam modal secara langsung serta untuk mengatur aktifitas perusahaan-perusahaan asing sejalan dengan kepentingan ekonomi nasionalnya. Kemampuan negara untuk mengatur investor tersebut dibutuhkan karena negara membutuhkan modal dalam membangun berbagai sektor. Modal disini tidak semata-mata berupa dana segar (fresh money), akan tetapi juga menyangkut teknologi (technology), keterampilan (skill) serta sumber daya manusia (human resources).
Adanya hubungan yang timbal balik yang baik antara negara pemodal dan penerima modal ini harus didukung oleh perangkat hukum yang baik dalam lingkup nasional, bilateral dan multilateral dalam bidang investasi. Kebijakan dan pengaturan hukum di bidang investasi terutama menyangkut :
1. Bagaimana cara menarik investor tanpa menimbulkan masalah yang merugikan devisa nasional dan sumber-sumber lainnya;
2. Bagaimana untuk melindungi kepentingan investor dan pada saat yang sama menjaga dominasinya dan efek negatif seminimum mungkin;
3. Bagaimana cara agar mengatur hukum dan sistem perpajakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan investor asing.
Jalan keluar dari ketiga permasalahan tersebut adalah adanya ketentuan hukum sebagai penyeimbang ketiganya, yaitu agar investasi dapat memberikan keuntungan bagi host country dan memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat bersamaan dengan tetap terjaminnya kepentingan investor. Penetapan kebijakan bagi penanaman modal ini tidak terlepas juga dari berbagai pertimbangan, antara lain yang menyangkut hak asasi manusia dan lingkungan, kesehatan, keamanan dan pertahanan negara, keuangan negara dan lain sebagainya
Kehadiran Multinational Corporations (selanjutnya disebut dengan MNC) pada era global dengan membawa modal besar dan teknologi maju sering menimbulkan kontroversi antara tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan teknologi atau justru menciptakan jurang kesenjangan dan ketergantungan antara negara maju dan berkembang. Berbagai konflik yang timbul biasanya diakibatkan oleh adanya perbedaan kepentingan. Salah satu MNC terbesar di dunia adalah MNC yang bergerak di bidang farmasi. Faktor utama yang menyebabkan industri ini memiliki posisi yang sangat penting karena masalah kesehatan merupakan masalah yang sangat umum dan menyangkut kepentingan suatu bangsa, terutama bagi wabah penyakit yang merupakan endemic di suatu negara seperti halnya Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), malaria, tuberculosis, dan penyakit lain yang mengancam populasi manusia.
Berkaitan dengan masalah-masalah yang melibatkan unsur kesehatan masyarakat karena terjadinya wabah penyakit yang melanda suatu negara mendorong ketentuan-ketentuan dalam WTO, World Health Organisation (WHO) dan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs) serta pembahasan-pembahasan negara-negara secara regional mengenai investasi berupaya untuk menyeimbangkan kepentingan para pihak yaitu antara kepentingan privat dan kepentingan publik. Satu sisi ketentuan itu berupaya untuk melindungi kepentingan privat perusahaan farmasi yang telah dengan biaya dan usaha yang besar mengadakan penelitian demi menemukan obat bagi penyakit tersebut dan pada sisi yang lain berupaya untuk mempromosikan public health bagi negara-negara anggota. Bagaimanapun, penerapan paten oleh industri farmasi telah mempengaruhi negara-negara berkembang dan kurang berkembang, karena membatasi mereka untuk menciptakan kebijakan tentang public health yang memadai bagi rakyatnya untuk mengakses obat-obatan.
Sebuah kasus di Afrika Selatan mengenai kebijakan pemerintah berkaitan dengan pelaksanaan paten oleh pemerintah dalam rangka mempromosikan Public health bagi masyarakatnya terjadi pada tahun 2001. Kasus ini terkait dengan usaha pemerintah Afrika Selatan untuk melawan wabah HIV/AIDS. Pemerintah Afrika Selatan mengesahkan A Medicines And Related Substances Control Amendment Act of 1997 and A Medicines And Medical Devices And Regulatory Act of 1998 yang memberikan kekuasaan pada menteri kesehatan untuk mengimpor obat generik atau perolehan lisensi untuk memproduksi sendiri obat yang bersangkutan, bahkan apabila harus berlawanan dengan hak paten yang dimiliki oleh perusahaan. Hadirnya undang-undang ini dengan dasar pertimbangan adanya lisensi wajib (compulsory licenses
Hal ini merupakan salah satu contoh adanya perbedaan kepentingan antara penanam modal dan negara penerima modal, yaitu antara perusahaan pemegang paten yang ingin meraih keuntungan sebesar-besarnya melalui paten yang dimiliki, negara sebagai anggota WTO yang harus melaksanakan perlindungan paten obat sesuai dengan standar internasional, dan negara sebagai pembela kepentingan nasional. Permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan di atas merupakan permasalahan-permasalahan yang menyangkut masalah kesehatan terutama public health atau kesehatan masyarakat.
Adanya masalah mengenai mahalnya harga obat-obatan di pasaran, sehingga menyulitkan masyarakat yang untuk mengakses obat-obatan tersebut tidak akan dijumpai apabila pemerintah dapat menciptakan kebijakan yang tepat mengenai investasi di bidang farmasi dengan MNCs yang bergerak di bidang tersebut. Ketersediaan pengaturan oleh WTO dengan memberikan kelonggaran di bidang public health dapat mendorong pemerintah untuk mewujudkan kesepakatan yang saling menguntungkan pihak pemerintah, investor dan masyarakat untuk mewujudkan harga obat yang terjangkau.
Mengingat pentingnya masalah kesehatan masyarakat dengan kata lain public health bagi suatu bangsa, maka permasalahan pokok yang akan adalah mengenai general exceptions yang berkaitan dengan public health terutama yang berkaitan dengan akses terhadap obat-obatan dalam hukum Investasi Indonesia. adapun rincian permasalahannya adalah :
“Kriteria berbagai persetujuan multilateral menyangkut general exception yang berkaitan dengan public health”

1. Kesehatan Masyarakat dan Penetapan Pandemi
Segala sesuatu yang menjadi ukuran untuk pencegahan suatu penyakit, mempromosikan kesehatan masyarakat, maupun untuk memperkenalkan kehidupan yang lebih baik dengan kesadaran terhadap kesehatan secara keseluruhan merupakan penegertian dari apa yang dimaksud dengan “Public Health”. Secara umum public health dapat kita artikan sebagai semua aturan yang mengatur mengenai penanggulangan suatu penyakit dan promosi kesehatan masyarakat.
Sejalan dengan pengertian tersebut C.E.A. Winslow pun memberikan pengertian yang sama mengenai public health, yaitu, “The science and art of preventing disease, prolonging life and promoting health through the organized efforts and informed choices of society, organizations, public and private, communities and individuals.” Fokus dari public health adalah untuk mencegah suatu penyakit yang dilakukan melalui pengawasan terhadap kasus-kasus kesehatan yang terjadi. Dalam hal ini perlakuan terhadap suatu penyakit bisa jadi merupakan hal yang vital untuk mencegah penyebaran penyakitnya, misalnya dengan pemberian vaksinasi maupun akses terhadap obat-obatan.
Indonesia mengenal adanya pembangunan kesehatan yang dinyatakan dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang mengatur secara tegas bahwa Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajad kesehatan masyarakat yang optimal. Sejalan dengan ini maka pemerintah harus menyediakan sarana dan prasarana kesehatan yang baik untuk mewujudkan pembangunan kesehatan yang memadai bagi rakyat.
Banyak negara berkembang dibayangi dengan maraknya wabah penyakit menular seperti HIV/AIDS, kanker, malaria, tuberkolosis, dan penyakit yang dewasa ini banyak menjangkit negara-negara Asia yaitu flu burung. Indonesia merupakan negara yang paling parah terkena dampak dari wabah flu burung, dibanding semua negara di dunia. Virus mewabah dalam populasi ternak, sedangkan kematian penduduk Indonesia mencapai 38% dari semua kematian manusia yang dilaporkan dari flu burung di dunia dan Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar ke empat di dunia, sehingga dapat kita bayangkan banyaknya kematian yang terjadi.
Penyebaran wabah penyakit menular sehingga dapat mengancam ketahanan suatu bangsa menjadi perhatian dunia. Hal ini terlihat dari adanya perkecualian dalam kesepakatan WTO terhadap bidang public health dan menjadi pembahasan yang lebih fokus pada deklarasi TRIPs and public health. Ketentuan dalam deklarasi ini berlandaskan pada adanya kesadaran adanya perlindungan HKI pada obat-obatan berakibat harga obat di pasaran menjadi mahal sehingga membatasi akses masyarakat dan negara-negara dunia ketiga terhadap obat-obat paten tersebut, padahal obat-obatan tersebut sangat dibutuhkan oleh negara-negara dunia ketiga. Hal ini kemudian mendorong ditetapkannya kesepakatan untuk mengadakan pengecualian dari hak paten ini dengan kriteria yang telah ditentukan, yaitu bahwa berdasarkan prinsip kedaulatan negara setiap negara berhak untuk menentukan sendiri kriteria penerapan pengecualian public health oleh suatu negara yang ditentukan berdasarkan ‘keadaan bahaya’ (emergency) dalam suatu negara ataupun kondisi yang bersifat ‘amat mendesak’ (extreme urgency) yang dapat dipahami bahwa termasuk kondisi kesehatan masyarakat, termasuk di dalamnya HIV/AIDS, TBC, malaria dan wabah penyakit menular (epidemic) lainnya dapat dianggap sebagai darurat nasional.
Perwujudan prinsip kedaulatan ini dapat diterapkan dalam hal penanaman modal. Pemerintah memiliki kedaulatan penuh untuk mengatur penanaman modal. Karena bidang penanaman modal merupakan bidang yang sarat dengan aturan, hal ini karena bidang ini bersinggungan dengan kepentingan masyarakat dan kepentingan negara secara luas. Dimungkinkannya penetapan status “emergency” berdasarkan kepentingan umum negara karena kepentingan masyarakat atas obat-obatan esensial yang murah dapat melatarbelakangi kebijaksanaan pemerintah dalam bidang penanaman modal. Tentunya penetapan tersebut harus terlebih dahulu diteliti mengenai status penyakit menular yang terjadi, tahap awal dari penetapan tersebut adalah diketahui adanya pandemi.
Epidemi itu sendiri merupakan wabah penyakit menular. Dari epidemi ini akan terbentuk pandemi, “a pandemic is an epidemic of infectious disease that spreads through populations across a large region; for instance a continent, or even worldwide.” Berdasarkan the World Health Organization (WHO) sebuah pandemic dapat diketahui apabila :
1) Emergence of a disease new to a population.
2) Agents infect humans, causing serious illness.
3) Agents spread easily and sustainably among humans.
Indikator awal yang paling efektif dari pengenalan adanya suatu wabah adalah dengan melalui pendeteksian penyakit yang dilakukan dengan melakukan sistem jejaring kesehatan yang dilakukan tenaga medis secara langsung, dengan demikian maka pengenalan terhadap penyakit ini bisa dipelajari secara lebih intensif. Pada bulan Februari 2004, virus avian influenza terdeteksi pada unggas di Vietnam. Timbul ketakutan bahwa adanya rekonstruksi antara virus influenza pada manusia dan hewan. Pada bulan oktober sampai februari 2005, sekitar 3.700 test kits Asian Flu virus secara tidak sengaja menyebar ke seluruh dunia. WHO memberikan pernyataan bahwa H5N1 belum dikategorikan menjadi pandemic karena belum dapat dibuktikan bahwa virus menyebar secara langsung dari manusia ke manusia.
Parameter inilah yang sedang diusahakan untuk dirubah oleh pemerintah Indonesia melalui Health Minister Special Meeting on Influenza A (H1N1) di Bangkok, Thailand. Pada kesempatan tersebut Indonesia mengusulkan agar badan kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) merevisi status pandemi. Hingga saat ini, dalam menetapkan status pandemi, WHO hanya berpatokan pada transmissibility (penularan antar manusia) saja. Seharusnya dalam menentukan parameter pandemi, dimasukkan juga faktor-faktor determinan klinis, seperti :
1. Morbiditas (angka kesakitan)
2. Mortalitas (kematian)
3. Determinan virologi berdasarkan gen sequensing yang menentukan tingkat keganasan virus.
Dengan peningkatan faktor-faktor penetapan status pandemi ini diharapkan suatu negara akan lebih leluasa dan lebih mudah menetapkan status ‘emergency’ maupun ‘extreme urgency’ yang diisyaratkan oleh declaration on TRIPs and public health. sehingga negara akan lebih mudah melaksanaan kebijakan akses terhadap obat-obatan esensial demi mencegah terjadinya wabah secara lebih meluas.

2. General Exception Terhadap Masalah-Masalah Yang Berkaitan Dengan Kesehatan
Terkadang untuk kepentingan nasionalnya suatu negara perlu mengeluarkan kebijakan publik yang berlawanan dengan ketentuan-ketentuan dan tujuan GATT, kesadaran ini diwujudkan dalam bentuk perkecualian-perkecualian umum (general exceptions), yaitu ketentuan yang mengijinkan negara anggota WTO untuk melakukan perkecualian dalam melakukan kewajiban dari ketentuan-ketentuan GATT untuk melindungi kepentingan publik di negaranya.
General exceptions atau perkecualian umum yang diatur melalui pasal XX dan XXI GATT memberikan peluang kepada negara anggota WTO untuk mengadakan perkecualian dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai anggota WTO sebagaimana tercantum dalam WTO agreement. Perkecualian umum ini dapat dilakukan sepanjang tidak menyalahi prinsip non diskriminasi dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang ataupun sebagai bentuk pemberian hambatan bagi perdagangan internasional. Ray August menyatakan, “The general exceptions excuse a member state from complying with its GATT obligations so long as this is not done as a means of arbitrary or unjustifiable discriminations or as a disguised restrictions ....”
Perkecualian yang sangat umum biasanya adalah dengan memperbolehkan para pihak dalam perjanjian untuk menyimpang dari ketentuan-ketentuan perjanjian dengan beberapa alasan, yaitu :
a. General Exception, meliputi :
1) Kesehatan masyarakat (Public Health),
2) Perlindungan terhadap kehidupan dan kesehatan manusia dan hewan
3) Untuk menjamin ditaatinya hukum dan peraturan-peraturan yang konsisten dengan GATT,
4) Untuk melindungi keuangan negara,
5) Untuk melindungi konservasi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui,
6) Ketertiban umum dan moralitas, dan
7) Keamanan nasional.
b. Sector specific exception, meliputi :
1) Hak Kekayaan Intelektual
2) public procurement
3) Integrasi regional
c. Country Specific Exception, berkaitan dengan pengecualian terhadap MFN dan national treatment seperti AFTA dan OECD codes untuk liberalisasi perdagangan dan lain-lain.
d. Prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia dan Lingkungan
Hal ini sebagai tanggapan terhadap MNCs yang menimbulkan ketidakadilan asasi bagi host country. Sejumlah fakta menggambarkan terjadinya ketimpangan sosial, tidak diakuinya hak-hak masyarakat lokal, rusaknya lingkungan hidup, rendahnya upah buruh, eksploitasi tenaga kerja anak dan perempuan, prostitusi dan permasalahan sosial lainnya.
Perkecualian-perkecualian tersebut dapat diterapkan sepanjang tidak dilakukan secara sewenang-wenang atau tidak diskriminasi yang tidak adil terhadap negara-negara dengan kondisi yang sama. Perkecualian-perkecualian tersebut juga diterapkan dalam beberapa perjanjian multilateral yang juga mencantumkan perkecualian-perkecualian untuk diterapkan negara-negara anggotanya sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Perjanjian-perjanjian tersebut antara lain adalah Trade Related Investment Measures (TRIMs), Asia Pacific Economic Co-oporation (APEC), North American Free Trade Area (NAFTA), The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).

Senin, Desember 28, 2009

PERTAHANAN WILAYAH PERBATASAN INDONESIA



oleh : YUNIARTI, S.H., MH
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Lautan merupakan bagian penting yang yang ada di bumi karena 70% atau 140 juta mil persegi dari permukaan bumi ini terdiri dari laut. Lautan memiliki fungsi sebagai jalan raya yang menghubungkan suatu bangsa dengan bangsa lain keseluruh pelosok dunia untuk berbagai macam kegiatan dengan kekayaan sumber daya perikanan yang vital bagi kehidupan manusia dan kekayaan sumber daya mineral yang terkandung di dasar laut itu sendiri. Perhatian yang ditujukan terhadap kekayaan-kekayaan dasar laut telah merubah hukum laut yang bersifat unidimensional menjadi pluridimensional yang sekaligus merombak filosofi dan konsepsi hukum laut masa lalu.
Majelis umum Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1976 membentuk suatu badan yang bernama United Nations Seabed Committee yang menghasilkan konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tanggal 10 Desember 1982 pada Konferensi Hukum Laut III atau United Nations Conference on the Law of the Sea III di Montego Bay, Jamaica. Konvensi ini merupakan perwujudan dari usaha masyarakat internasional untuk mengukur masalah kelautan secara menyeluruh yang penyusunannya memakan waktu selama 10 tahun. Pengaturan dalam konvensi ini merupakan pembaharuan dibidang hukum kelautan karena berbagai ketentuan hukum baru mengenai hukum laut disepakati oleh Negara-negara anggota, diantaranya adalah pengaturan mengenai rejim Negara kepulauan, Zona Ekonomi Ekslusif 200 mil, lebar laut wilayah, landas kontinen dan berbagai langkah pengamanan turut diatur oleh konvensi ini.
Bagi bangsa Indonesia konvensi ini memiliki arti yang sangat penting, karena untuk pertama kalinya asas Negara kepulauan atau Wawasan Nusantara yang dicetuskan melalui Deklarasi Juanda 1957 diakui oleh masyarakan Internasional sebagai bagian dari konvensi hukum laut baru. Hal lain mengenai pentingnya konvensi hukum laut ini bagi Indonesia adalah bahwa konvensi ini merupakan dasar bagi penyusunan hukum laut di Indonesia beserta pertahanan keamanan maritim Indonesia.
Asas Negara kepulauan yang memiliki pengertian selain memiliki kelebihan juga memiliki konsekuensi pengawasan yang lebih komprehensif bagi Negara yang bersangkutan, bagi Indonesia permasalahan ini meliputi aspek fisik dan aspek non fisik. Aspek-aspek fisik diantaranya adalah:
1. Persoalan mengenai lintas damai perdagangan laut. Untuk hal ini ada tiga permasalahan yang dapat kita kaji, yaitu:
Pertama. 25% perdagangan dunia onboard dalam merchant ship melintasi jalur lalu lintas internasional melalui Indonesia, pada tahun 2000 sekitar 22.000 milyar menjadi 35.000 milyar ton pada tahun 2010, dan 41.000 milyar ton pada tahun 2014. Dimana perdagangan tersebut dibawa oleh sekitar oleh sekitar 50.000-60.000 kapal dagang setiap tahunnya melintasi jalur lalu lintas internasional yang melintasi perairan Indonesia.
Kedua. Intervensi dan Inisiatif oleh negara-negara besar yang kepentingannya (ekonomi perdagangan dan perang melawan terorisme) tidak ingin terganggu di kawasan perairan Indonesia. Hal ini tentunya didorong oleh tujuan mereka untuk mengamankan jalur perdagangan laut dan kontrol atas barang-barang yang diangkut oleh kapal-kapal yang melalui jalur tersebut.
Ketiga. Penyelundupan baik manusia, senjata ringan, dan narkotika. Ratusan ribu pucuk senjata ringan (Small Arm and Light Weapon) selundupan beredar di kawasan Asia Tenggara tiap tahunnya dan lebih dari 80 persen dari penyalurannya melewati laut. Daerah-daerah sekitar Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) selalu rawan terhadap kegiatan-kegiatan kejahatan internasional, penyelundupan manusia dan senjata, dan infiltrasi. Hal ini tentunya sangat terkait dengan kegiatan teorisme dan separatisme di Indonesia.
Dari ketiga alasan tersebut di atas, membuktikan bahwa Indonesia berada dalam sebuah situasi dan kondisi yang tepat dan sesuai untuk datangnya ancaman dari kekuatan eksternal yakni intervensi negara lain yang ingin mengamankan kepentingannya dan pihak non-negara seperti kelompok teroris dan sindikat penyelundupan internasional yang memanfaatkan jalur laut internasional. Selain itu, Indonesia juga memiliki ancaman dari internal seperti dari kelompok pemberontak atau separatis yang mendapatkan pasokan persenjataan dari penyelundupan senjata yang beredar di sekitar perairan Indonesia karena adanya jalur laut internasional dan lemahnya pengawasan dan pengamanan patrol laut oleh pihak militer Indonesia.

2. Pengamanan pulau-pulau terluar Indonesia
Pulau-pulau terluar Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau kecil seringkali merupakan hal yang kurang diperhatikan keberadaannya oleh pemerintah Indonesia, kasus Sipadan dan Ligitan merupakan salah satu contoh lemahnya pengawasan Indonesia terhadap pulau-pulau kecil, yang dimanfaatkan oleh pihak asing untuk memelihara pulau-pulau tersebut sehingga diperoleh dokumentasi dan bukti-bukti pengelolaan, hal ini tentunya merugikan Indonesia apabila tidak segera mengambil langkah prefentif mengenai pengelolaan pulau-pulau terluar, karena penghitungan batas terluar diambil dari pulau terluar Indonesia.

3. Sarana penunjuk daerah perbatasan laut
Sarana penunjuk daerah perbatasan laut merupakan hal penting yang harus diperhatikan terutama bagi Negara-negara dengan perbatasan laut yang sangat kecil, misalnya perbatasan selat Malaka. Minimnya luas selat Malaka yang tidak mencapai batas yang ada dalam ketentuan internasional mengakibatkan perlunya kesepakatan antara Negara-negara tetangga, sehingga perbatasan laut pun dicapai dengan kesepakatan para pihak. Pentingnya sarana penunjuk perbatasan adalah untuk mempermudah pengawasan dan pengamanan daerah laut, misalnya dengan pembuatan mercu suar. Namun, permasalahan tingginya dana yang diperlukan untuk pembangunan sebuah mercu suar menyebabkan adanya permasalahan baru bagi Negara.

4. Pengelolaan daerah bawah laut
Daerah bawah laut merupakan daerah yang paling kaya akan sumber kekayaan mineral, seperti minyak dan gas bumi, pospor, tembaga, emas, linen berlian dan sumber-sumber lain . Kondisi ini bukan hanya merupakan fenomena geografis dan geologis tetapi juga merupakan fenomena ekonomis, karena banyaknya pihak yang ingin mengambil keuntungan dari kekayaan alam yang terdapat dibawah laut. Kemajuan teknologi juga menjadi salah satu pendorong kemajuan hukum laut, diantaranya adalah penanaman pipa dan kabel dasar laut beserta seluruh kegiatan penelitian dasar laut. Kasus Ambalat merupakan salah satu contoh kasus mengenai banyaknya kepentingan pihak-pihak pada sebuah landas kontinen atau dasar laut.
Dari keseluruhan permasalah diatas dapat dikaji bahwa masalah yang paling utama dari keseluruhan permasalahan menyangkut aspek kewilayahan suatu Negara yang meliputi aspek kedaulatan dan hak berdaulat secara nyata terhadap negaranya. Hal ini dapat dilihat dari perbatasan wilayah sebuah Negara dengan Negara lain, baik perbatasan darat maupun laut. Kondisi saat ini, pengelolaan batas wilayah Negara baik batas di darat maupun di laut belum tuntas sepenuhnya. Permasalahan ini hanya dapat dituntaskan secara lintas sektoral antara berbagai pihak yang terlibat.

2. Rumusan Masalah
Menghadapi permasalahan yang disebutkan diatas, pemerintah harus segera melakukan upaya-upaya hukum untuk melindungi dan mempertahankan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu perlu dikaji upaya-upaya yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka penanganan permasalahan perbatasan maritim Republik Indonesia?





BAB II
PEMBAHASAN


1. Indonesia Sebagai Negara Kepulauan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang108.000 km. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2. Selain itu Indonesia juga mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait seluas 2,7 juta km2 pada perairan Zona Ekonomi Eksklusif (sampai dengan 200 mil dari garis pangkal).
Kurang lebih 6 juta km persegi wilayah Indonesia berupa lautan yang sangat mempengaruhi iklim dan cuaca seluruh wilayah. Dipandang dari sifat alami, maka lingkungan laut Indonesia memperlihatkan sifat integral antara unsur laut dan darat. Secara ekologis, hal ini merupakan dasar ilmiah dan alami bagi konsep wawasan nusantara sebagai wujud kesatuan geografis, yang menjadi dasar kesatuan politis, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan.
Definisi yang diberikan terhadap Negara kepulauan ialah sebagai Negara-negara yang terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain, sedangkan berdasarkan konsep yuridis yang dimaksud dengan “kepulauan” adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.
Kemudian konvensi ini menentukan bahwa untuk kepentingan penentuan zona maritim, Negara-negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) sampai sejauh 100 mil laut, yang menghubungkan titik-titik paling luar dari pulau-pulau paling luar dan batu-batu karang. Selama perbandingan ratio air dan daratan tidak melebihi sembilan berbanding satu dengan ketentuan bahwa wilayah yang dihasilkan tidak memotong Negara lain dari laut lepas dan zona ekonomi eksklusif.

Sebagai negara kepulauan, wilayah maritim merupakan kawasan strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover pengembangan wilayah nasional. Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah maritim ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya. Secara sederhana, pembangunan wilayah maritim diartikan sebagai pembangunan wilayah yang terkait dengan sumber daya kelautan. Wilayah kelautan Indonesia mencakup: (a) perairan kepulauan dan wilayah laut teritorial sampai 12 mil laut, (b) zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil, dan (c) landas kontinen. Luasnya wilayah kepulauan yang harus diawasi merupakan permasalahan yang harus ditindaklanjuti agar pemerintah melalui aparatur negaranya tidak lengah dalam melakukan tugas untuk mengawasi wilayah laut kepulauan Indonesia.

2. Perbatasan wilayah laut Indonesia
Dalam bahasa Inggris perbatasan sering disebut dengan border, boundary atau frontier. Perbatasan merupakan salah satu manifestasi penting dalam suatu Negara dan bukan hanya suatu garis imajiner diatas permukaan bumi, melainkan suatu garis yang memisahkan suatu daerah dengan daerah lainnya. A.E. Moodie menyatakan bahwa boundary adalah garis-garis yang mendemarkasikan batas-batas terluar dari suatu Negara. Dinamakan Boundary karena berfungsi mengikat (bound) suatu unit politik. Sedangkan frontier mewujudkan jalur-jalur (zona) dengan lebar beraneka yang memisahkan dua wilayah berbeda Negara. Pengaturan perbatasan harus ada supaya tidak timbul kekalutan, karena perbatasan merupakan tempat berakhirnya fungsi keadulatan suatu Negara dan berlakunya keadulatan Negara lain.
Seperti halnya negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia, masalah perbatasan merupakan masalah yang kerap dihadapi. Tumpang tindih pengaturan ZEE dengan beberapa Negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah pada konflik internasional. kaitannya dengan hubungan Indonesia-Malaysia, masalah perbatasan dapat terlihat dalam kasus Selat Malaka dimana kawasan perairan tersebut diklaim oleh beberapa negara yaitu Singapura, Malaysia, dan termasuk Indonesia. Selat Malaka merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang menghubungkan antara negara-negara barat dengan negara-negara timur, sehingga kawasan ini merupakan kawasan yang strategis bagi jalur perdagangan. Masalah Selat Malaka sempat akan diinternasionalisasikan, meskipun pada akhirnya cukup negara-negara pantai yang menjaga perairan tersebut, yaitu Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Penjagaan Selat Malaka dilakukan dengan cooperative security, dimana masing-masing angkatan laut negara-negara pantai melakukan patroli bersama di sekitar wilayah perairan selat Malaka. Hingga sekarang masih belum jelas status dari Selat Malaka merupakan bagian dari wilayah negara mana.

3. Pertahanan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kepentingan strategis yang bersifat tetap adalah penyelenggaraan usaha pertahanan negara untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI, serta keselamatan dan kehormatan bangsa dari setiap ancaman, baik yang berasal dari luar maupun yang timbul di dalam negeri. Dalam melaksanakan kepentingan pertahanan yang bersifat tetap, bangsa Indonesia senantiasa berpegang prinsip sebagai bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta pada kemerdekaan dan kedaulatannya. Sedangkan dalam menjamin kepentingan pertahanan yang bersifat tetap, penyelenggaraan pertahanan dilaksanakan dengan sistem kesemestaan, melibatkan seluruh rakyat dan sumber daya, serta sarana dan prasarana nasional sebagai satu-kesatuan pertahanan.
Kepentingan strategis yang bersifat mendesak pada dasarnya tidak bias dipisahkan dari kepentingan strategis pertahanan yang bersifat tetap. Kepentingan strategis pertahanan yang bersifat mendesak ini lebih diarahkan untuk mengatasi isu keamanan aktual, yaitu tindakan yang dapat mengganggu kedaulatan dan keutuhan NKRI, serta gangguan terhadap keselamatan dan kehormatan bangsa. Kerjasama internasional di bidang pertahanan diperlukan sebagai alat diplomasi pertahanan. Dengan kata lain, kerjasama internasional bidang pertahanan merupakan salah satu langkah visioner untuk modernisasi pertahanan dalam kancah diplomasi serta training-training bersama secara militer. Visi strategis pertahanan Indonesia sudah selayaknya diapresiasi dan disikapi oleh segenap anak bangsa, agar implementasi kebijakan pertahanan Indonesia benar-benar dihayati sebagai maknanya dalam Preambule UUD 1945. berbagai macam upaya dapat ditempuh pemerintah dalam mempertahankan pertahanan dan keamanan wilayah NKRI, diantaranya adalah :
● Deterrence
Indonesia perlu mengembangkan konsep deterrence atau penangkalan. Dengan adanya deterrence ini diharapakan dapat memberikan dampak psikologis terhadap negara-negara yang akan melakukan serangan militer ke Indonesia atau melakukan tindakan-tindakan lainnya sehingga mereka akan mengetahui efeknya jika mereka berani macam-macam terhadap wilayah Indonesia dan jika terjadi serangan balasan (retaliation). Salah satu langkah untuk mewujudkan deterrence tersebut yaitu dengan melakukan modernisasi atau pembangunan kekuatan militer Indonesia. Pembaharuan persenjataan benar-benar dilakukan, tidak hanya sekedar perawatan persenjataan yang telah ada tetapi kita perlu membeli senjata dan peralatan tempur lainnya yang modern juga memiliki teknologi yang canggih untuk melindungai wilayah NKRI ini.
Modernisasi perlu dilakukan, terutama dalam Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) juga stabilisasi dalam Angkatan Darat (AD) untuk mempertahankan wilayah NKRI dari ancaman yang datang baik dari luar maupun dalam negeri. Modernisasi di AL harus dilakukan karena kemampuan militer armada laut kita sangat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah Indonesia
Kawasan-kawasan perbatasan atau daerah-daerah yang dianggap rawan harus dijaga secara intensif seperti perairan Selat Malaka, Pulau Kalimantan, kawasan Natuna, dan daerah lain yang berbatasan atau berhubungan dengan negara Malaysia. Konsep detrrence bukan berarti tanpa resiko dapat menimbulkan dampak lain bagi hubungan antar negara. Deterrence yang diikuti dengan modernisasi/pembangunan kekuatan militer dapat memunculkan kecurigaan dari negara lain atas pembangunan tersebut. Misalnya, untuk mendukung modernisasi militer maka Indonesia harus meningkatkan anggaran belanja pertahanannya dari rata-rata 1% PDB menjadi diatas 1% atau 3%-5% dari PDB agar dapat mengejar ketertinggalannya. Hal ini dapat direspon oleh negara lain sebagai ancaman dan ikut membangun kekuatan militer negaranya sehingga mengakibatkan terjadinya perlombaan senjata (Arms Race) diantara negara-negara. Yang dapat dilakukan untk menghindari kecurigaan dan ketegangan, dalam pembangunan militernya Indonesia harus jelas kearah mana, misalnya bisa kearah non-provocative defence. Pengembangan kapasitas pertahanan kita sebenarnya dapat dilandaskan pada prinsip ini sehingga tidak menstimulasi kekhawatiran negara lain dan jelas untuk meyakinkan masyarakat internasional.

● Preventive Diplomacy
Tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan jalan militer untuk mencapai suatu penyelesaian. Kebanyakan untuk menyelesaikan masalahnya, Indonesia dengan Malaysia melakukan hubungan diplomasi untuk membicarakan dan melakukan lobi-lobi menyangkut permasalahan yang dihadapi kedua negara. Indonesia perlu menggalakan upaya preventive diplomacy untuk mencegah segala bentuk permasalahan yang dihadapi dengan berkembang mejadi konflik militer. Dalam pelaksanaannya, diplomasi yang dilakukan harus diaksanakan oleh orang-orang yang ahli dalam berdiplomasi dan mengerti akan masalah yang tengah dihadapi sehingga kepentingan-kepentingan kita dapat tersampaikan dalam berbagai perundingan.
Semenjak lahirnya Negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsip-prinsip hubungan internasional, hukum internasional dan diplomasi. Dalam hubungannya satu sama lain negara-negara mengirimkan utusannya untuk berunding dengan negara lain dalam rangka memperjuangkan dan mempertahankan kepentingannya masing-masing selain mengupayakan terwujudnya kepentingan bersama. Cara-cara dan bentuk yang dilakukan dalam melakukan pendekatan dan berunding dengan Negara lain untuk mengembangkan hubungan tersebut dinamakan diplomasi yang dilaksanakan oleh para diplomat. Selanjutnya pembukaan dan pemeliharaan diplomatik dengan Negara lain, atas dasar kesamaan hak, merupakan manifestasi nyata dari kedaulatan suatu Negara.
Preventve diplomacy perlu dilakukan Indonesia setidaknya untuk membangun komunikasi dan saling pengertian diantara kedua negara sehingga Indonesia diharapkan dapat mengantisipasi permasalahan yang ada agar tidak muncul ke permukaan dan mengakibatkan terjadinya konflik. Kemungkinan-kemungkinan konflik inilah yang harus dikelola melalui preventive diplomacy. Selama ini upaya diplomasi Indonesia dipandang masih kurang dalam menangani masalah-masalah dengan Malaysia. Seperti yang terjadi pada kasus Sipadan-Ligitan.
Preventive diplomacy mencakup berbagai tindakan: conflict avoidance, preventive action, conflict management, conflict resolution, dan lain-lain. Semua istilah-istilah tersebut bertujuan sama yaitu mengelola konlik pada tahap paling awal dianggap lebih “manusiawi”, tidak mengeluarkan biaya banyak dan lebih manageable daripada saat konflik tersebut telah menginjak pada tahap yang lebih maju dan lebih luas. Diharapkan dengan melakukan preventive diplomacy Indonesia dapat menjaga hubungan baik dengan “menekan” konflik-konflik yang akan muncul.

● Cooperative Security
Kerja sama keamanan (cooperative security) memang perlu dilakukan oleh Indonesia, mengingat banyaknya masalah-masalah yang terjadi di kawasan-kawasan perbatasan. Setidaknya dengan dilakukannya kerja sama kemanan dapat meredam konflik yang terjadi. Seperti yang dilakukan di Selat Malaka, cooperative security dilakukan dengan patroli bersama di perairan tersebut dengan begitu Indonesia, Malaysia, Singapura tidak terlibat dalam peperangan namun penjagaan wilayah yang diklaim masing-masing negara. Cooperative security dapat meminimalisir terjadinya ekskalasi konflik dan meningkatkan kerja sama antar negara di bidang pertahanan dan keamanan.
Masalah piracy, illegal logging, termasuk masalah TOC dan transboundary issues lainnya memang tantangan besar bagi kita, tapi merupakan bentuk konflik lain sehingga Indonesia tidak perlu mencurahkan dana terlalu besar. Indonesia lebih baik melakukan cooperative security dengan menjaga perairan beramai-ramai mengingat keterbatasan kapasitas pertahanan maritim Indonesia dengan demikan efisiensi juga dapat tercapai. Indonesia dan Malaysia juga perlu mengadakan latihan militer gabungan berkaitan dengan banyaknya masalah kemanan yang muncul di sepanjang perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia diamana latihan gabungan ini meliputi aspek darat, samudera, dan angkasa. Diharapkan dengan adanya latihan gabungan ini hubungan angkatan bersenjata kedua negara dapat kembali pulih, karena sifat kerja sama kemanan ini adalah lintas batas negara maka perlu dilakukan koordinasi peraturan atau hukum antara Indonesia dengan Malaysia. Hal ini perlu dilakukan agar dalam penanganan kasus-kasus seperti piracy, penyaluran TKI ilegal, atau ilegal logging agar jelas siapa yang berwenang atau bertugas dan bagaiamana penanganan kasus-kasus tersebut sehingga tidak saling bertentangan satu sama lain.
Kedua negara harus memiliki sistem untuk bersama-sama mengantisipasi dan mengatasi persoalan keamanan. cooperative security dapat dijadikan langkah awal di lapangan atau di lokasi terjadinya permasalahan (dispute) agar tidak terjadi konflik yang lebih luas sehingga Negara dapat menentukan langkah selanjutnya untuk mengatasi persoalan atau sengketa tersebut. Semua upaya-upaya diatas memang beberapa konsep yang dapat dilakukan dan bertujuan agar dapat dilaksanakan dalam tindakan riil. Dalam pelaksanaannya, konsep-konsep itulah yang dapat dijadikan patokan atau acuan untuk mengarahkan berbagai usaha dan upaya agar membentuk Indonesia yang lebih kuat dan maju. Indonesia dapat menjadi kuat untuk menjaga wilayahnya (dengan segala potensinya) dan kepentingannya baik dari segi pertahanan kemanan maupun dari segi diplomasi.
Upaya-upaya yang telah disebutkan diatas merupakan sebagian kecil dari berbagai upaya yang dapat ditempuh oleh Indonesia dalam rangka menjaga hubungan baik dengan Negara-negara tetangga. Postur pertahanan (defence posture) merupakan “wujud kemampuan dan kekuatan serta gelar Hankamneg yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan strategi dalam mencapai sasaran dan tujuan Hankamneg.” Menurut pengertian di atas, postur pertahanan memiliki tiga aspek utama, yakni kemampuan (capability), kekuatan (force) dan gelar (deployment). Menurut Oxford Dictionary of U.S. Military, kemampuan adalah “forces or resources giving a country or state the ability to undertake a particular kind of military action” (kekuatan atau sumber daya yang memberi kebisaan sebuah negara untuk menjalankan tindakan militer tertentu). Sementara, secara luas, kekuatan dapat didefinisikan sebagai elemen-elemen tempur dari keseluruhan struktur pertahanan (the fighting elements of all defence structure). Dan, gelar adalah tata sebar dari kekuatan. Ketiga aspek tersebut, melalui suatu sinergi, ditujukan untuk mendukung strategi dalam mencapai tujuan pertahanan negara.
Berdasarkan pengertian postur pertahanan yang menjadi acuan Dephan, sebuah penilaian atas postur pertahanan harus dimulai dengan pembahasan mengenai tujuan pertahanan negara, serta strategi apa yang dijalankan untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut. Menurut pasal 4 UU No. 3 tahun 2001 tentang Pertahanan Negara, tujuan utama pertahanan negara adalah “untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.” Khusus dalam hal pertahanan negara dalam menghadapai ancaman militer, pasal 7 ayat 2 menegaskan bahwa sistem pertahanan negara menempatkan TNI sebagai komponen utama.
Tujuan utama demikian pada hakekatnya merupakan kepentingan strategis pertahanan yang bersifat tetap. Oleh karena itu, secara operasional tentunya harus dijabarkan ke dalam bentuk upaya mengatasi berbagai ancaman dan tantangan terhadap tujuan utama itu sendiri dalam kurun waktu dan dimensi geografis tertentu. Dengan kata lain, penilaian terhadap postur pertahanan secara esensial merupakan penilaian terhadap efektifitas dan efisiensi kekuatan pertahanan negara (khususnya TNI) dalam mengelola dan mengatasi berbagai ancaman dan tantangan yang secara aktual dan nyata dihadapi.
Dalam hal ini, Buku Putih Pertahanan (BPP) Indonesia menyatakan bahwa sasaran penyelenggaraan pertahanan negara adalah untuk “mencegah dan mengatasi ancaman keamanan tradisional dan non-tradisional.” Kemungkinan ancaman tradisional dalam waktu dekat, baik berupa agresi dan invasi, dinilai kecil. Namun, untuk kepentingan pembangunan postur pertahanan secara komprehensif, potensi ancaman tradisional perlu dijabarkan secara operasional. Kalaupun kecil kemungkinan akan adanya ancaman agresi dan invasi terhadap Indonesia, ancaman berupa infiltrasi dan intrusi kekuatan asing ke wilayah yurisdiksi Indonesia tidak dapat diabaikan begitu saja. Bentuk ancaman ini jelas mengancam “tegaknya kedaulatan Indonesia,” yang dinyatakan sebagai tujuan utama pertahanan negara.
Meskipun diakui bahwa kemungkinan ancaman tradisional tetap tidak dapat diabaikan, BPP menilai bahwa “ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia lebih besar kemungkinannya yang berasal dari ancaman non-tradisional.” Ancaman-ancaman itu kemudian diidentifikasikan kedalam bentuk konkrit berupa:
(1) terorisme,
(2) separatisme,
(3) radikalisme,
(4) konflik komunal,
(5) kerusuhan sosial,
(6) perompakan dan pembajakan di laut,
(7) imigrasi ilegal,
(8) penangkapan ikan ilegal dan pencemaran laut, dan
(9) penebangan kayu ilegal dan penyelundupan.
Dalam hal ancaman tradisional, selain dari hanya menyatakan “menjamin eksistensi kekuatan pertahanan yang mampu tetap memelihara tegaknya kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI,” BPP masih belum menjabarkan secara konkrit kemungkinan-kemungkinan ancaman yang akan dihadapi. Sementara, dari berbagai jenis ancaman non-tradisional di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan kekuatan pertahanan Indonesia dewasa ini lebih terfokus pada upaya untuk menangani dua jenis persoalan keamanan nasional, yakni konflik-konflik internal (internal conflicts) dan ancaman berbasis maritim (maritim-based threats), yang pada dasarnya membutuhkan kemampuan menjalankan lower level operations. Dalam menghadapi ancaman non-tradisional akan digunakan kekuatan TNI baik sebagai komponen utama maupun sebagai pendukung, tergantung jenis ancaman yang dihadapi.


BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN

Dalam hubungan bernegara memang tidak selamanya berjalan harmonis pasti terdapat beberapa potensi persoalan yang dapat menggoyahkan hubungan antar negara. Setiap persoalan yang terjadi dapat menimbulkan dua dampak yang berbeda bagi negara, dampak tersebut dapat berupa kerja sama atau konflik. Terkadang dalam suatu konflik, satu aspek yang terkena konflik dapat merambat ke aspek-aspek lainnya. Untuk menjaga agar tidak terulang lagi atau setidaknya mengantisipasi konflik-konflk yang dapat terjadi, Indonesia harus melakukan berbagai upaya untuk mengatasi konflik dan meningkatkan posisi tawar (bargaining position). Segala upaya yang dilakukan bertujuan agar kelak tidak ada lagi permasalahan yang mengganggu hubungan kerja sama antar Negara yang bersengketa.
Pada dasarnya hubungan antar negara dipengaruhi oleh kepentingan masing-masing negara dan hubungan antar negara dapat berjalan dengan baik jika kepentingan-kepentingan tersebut tidak saling berbenturan. Masalah perbatasan merupakan masalah yang seringkali menjadi masalah yang cukup sensitive antar Negara yang saling berdekatan. Hubungan angtar Indonesia dan Negara-negara tetangga sebenarnya dapat dikatakan telah berjalan cukup baik, hanya tinggal bagaimana negara-negara tersebut saling menghormati dan menghargai satu sama lain, mengantisipasi dan mengelola potensi konflik, dan akhirnya mengembangkan kerja sama bilateral yang saling menguntungkan di berbagai bidang (poleksosbud hankam). Cara-cara yang dapat digunakan salah satunya adalah melalui diplomasi yang baik. Kerja sama keamanan (cooperative security) memang perlu dilakukan oleh Indonesia, mengingat banyaknya masalah-masalah yang terjadi di kawasan-kawasan perbatasan


2. SARAN
Walaupun berbagai upaya telah dilakukan Indonesia untuk mengatasi berbagai persoalan perbatasan dengan Negara-negara tetangga, namun, masalah yang dihadapi masih juga belum bisa terselesaikan. Agar masalah yang dihadapi dapat segera terselesaikan maka jalan yang harus ditempuh harus lebih tersistematis dan mendapatkan dukungan lintas sektoral dari pihak-pihak yang terkait di dalam negeri, baik dari departemen luar negeri maupun angkatan pertahanan Indonesia.